Jumat, 30 Januari 2009

Continued Story Part 1

Neraka itu Panas Namun Membuatmu Menggigil

Orang-orang di sekitarku sepertinya mencemaskan kondisiku, tubuhku panas, suhu termometer menunjukkan 40.5 derajat celcius, jauh melewati batas normal 36-37 derajat celcius, namun aku menggigil, seperti berada di kutub selatan, di ujung dunia.



Benci, itulah yang aku rasakan, perasaan antipati terhadap nyamuk aedes aegepty yang telah membuatku menderita selama 9 hari terus menerus muncul di benakku. Liburan selama 2 minggu sama sekali tidak berarti, tanpa rekreasi, tanpa pulang ke kampung halaman, tanpa internet, tanpa erepublik, ym, dan sebagainya. Hanya berbaring di tempat tidur, pergi ke kamar mandi, menonton televisi di sebuah kamar yang sepi, hanya ada aku yang lemas, dan satu orang anggota keluarga yang mendampingiku. Aku tidak ingin berada di sini, aku ingin pulang secepatnya, namun tidak bisa, selama 9 hari aku harus terkurung dalam penjara berkedok medis ini.


Aku pun sama sekali tidak pernah menyangka akan masuk ke tempat ini, sebelumnya aku selalu segar bugar, tidak terlihat tanda-tanda kelelahan, bahkan aku sempat pergi ke bandung bersama teman sesama pemburu perguruan tinggi selama 2 hari. Aku tidak merasa ada yang aneh dengan tubuhku, hingga pada suatu malam ketika aku tertidur, aku merasa kedinginan, tanpa Air Conditioner namun terasa sangat dingin, hingga aku bangkit dari tidurku dan mengenakan jaket tebal, namun rasa dingin itu tidaklah pudar, bahkan seluruh tubuhku merasa dingin, sangat aneh.


Pagi harinya semuanya kembali normal, aku merasa tubuhku sehat, dan aku dapat beraktivitas dengan baik, siang hari aku pergi ke cikampek bersama dengan keluargaku untuk mengunjungi famili kami, di tengah perjalanan aku merasa aneh dengan tubuhku, berbeda dengan yang semalam aku rasakan, kini semuanya sangat berlawanan, aku merasakan panas yang begitu hebat mengelilingi tubuhku, aku bahkan tidak dapat memakan apapun, donat yang dibeli di rest area km 19 aku muntahkan, bahkan saat berada di rumah makan sate maranggi aku tidak dapat makan apa yang aku suka, sate maranggi yang biasanya dapat aku habiskan dengan cepat satu porsinya tidak dapat aku masukkan ke dalam tubuhku satu tusuk pun, selalu aku muntahkan, hingga “promag” menolongku untuk memakan semangkuk sup.


Pada malam hari kami telah pulang dari cikampek dan sudah berada di rumah, aku pun kembali merasa dingin, saat itu ibundaku menyadari keanehan dalam diriku, di saat aku merasa kedinginan, beliau memeriksa suhu tubuhku, dan yang aneh, berdasarkan pemeriksaan ternyata suhu tubuhku tinggi, namun kenapa aku merasa sangat dingin?


Menyadari kondisiku yang aneh ini, ayah dan ibundaku membawaku ke sebuah rumah sakit, pukul 9.00 aku dibawa ke sebuah rumah sakit, ini membuatku curiga, karena biasanya aku diantar ke dokter langganan kami di daerah otista, namun kali ini orang tuaku dengan pasti membawa ke rumah sakit, aku sadar bahwa ada sesuatu yang gawat pada tubuhku. Sepanjang perjalanan aku mengeluh, kepalaku sakit, mual dan sebagainya, hingga akhirnya aku telah berada di ruang dokter dan dokter menganjurkan untuk periksa darah. Tidak ada yang aneh dengan hasil periksa darah itu, hanya trombositku saja yang sedikit di bawah normal, 156 bukanlah angka yang buruk. Namun aku dianjurkan untuk menunggu, beberapa jam, hingga aku bosan, namun tidak dapat berbuat apapun karena tubuhku sudah sangat melemah.


Setelah menunggu beberapa lama, ternyata aku harus menjalani periksa darah untuk ke dua kalinya, aku pun terkejut dengan hasilnya, anjlok cukup jauh dari pemeriksaan yang pertama. 113, aku tahu itu bukanlah angka yang baik untuk trombositku, kini aku berada antara 2 penyakit yang berkaitan dengan rendahnya jumlah trombosit, tipes dan demam berdarah, dan dokter berkata kedua penyakit itu ada dalam tubuhku.


Rawat inap, aku di anjurkan oleh dokter untuk menjalani rawat inap, pada awalnya aku tidak merasa itu adalah sebuah masalah yang besar, hingga akhirnya ibundaku berkata bahwa kamar VIP di rumah sakit itu sudah penuh, bahkan untuk kamar kelas 1 dan 2, hanya tersisa kamar kelas 3, akhirnya keputusanpun dibuat, aku dirawat di kamar kelas 3, dan apabila pasien kamar VIP ada yang sudah pulang, aku akan dipindahkan ke kamar itu, diantar dengan kursi roda oleh suster, aku memasuki kamar kelas 3 yang memuat 8 orang dan jika dibandingkan kamar VIP dengan luas kamar yang sama dan dihuni oleh 1 orang, kamar ini terlalu mengerikan, bahkan tidak sekat ataupun gorden yang membatasi pasien yang satu dengan lainnya, tidak ada privasi di sini, layaknya barak tentara. Akupun berpikir bahwa aku tidak akan sembuh berada di sini.


Kamar kelas 3, Sesuai dugaanku, kamar yang berisi 7 orang dari kuota maksimal 8 orang ini sangatlah gaduh, apalagi pada saat jam besuk, aku tidak suka ini, aku tidak dapat beristirahat dengan tenang, ingin rasanya aku bangkit dan memaki mereka semua, namun tidak kulakukan, justru aku memberikan ultimatum kepada ibundaku untuk sesegera mungkin pindah dari kamar ini.


Pasien-pasien selainku adalah Seorang pemuda, anak seumuranku, bapak berambut ikal, bapak kurus, pemuda gemuk yang sepertinya orang pengajian, dan pemuda berkulit hitam yang disebut ketua RT karena ia adalah yang paling awal masuk sini. Setelah kedatanganku datanglah pasien ke-8 yang melengkapi kamar ini, seorang bapak paruh baya, bapak ini orang betawi, bertambahlah kejengkelanku atas kamar ini, aku yakin kamar ini akan semakin gaduh karena kedatangannya.


Bersambung....