Di sebuah desa yang indah, hiduplah seorang gadis berparas cantik jelita, memiliki mata yang indah, rambut panjang sebahu, yang membuat laki-laki mudah jatuh hati padanya. Gadis desa itu bernama Siti Nurbaya, ia hidup bersama dengan ayahnya yang seorang duda bernama Baginda sulaiman. Siti memiliki seorang sahabat sejak kecil, teman sepermainan, tetangga, yaitu Samsul Bahri, anak sultan mahmud syah. Pada suatu hari, di sebuah saung di tengah sawah, siti dan sam sedang bercakap-cakap sambil menunggu kedatangan pak ali, kusir keluarga samsul. Pak ali datang terlambat karena harus menjemput tamu sultan mahmud syah, yakni Datuk Maranggi. Mereka pun bergegas pulang
Di rumah sultan mahmud syah, tampak seorang pria tua bangka, berwajah buruk rupa, tapi seorang juragan kaya, Datuk maranggi pemilik dari warung sate maranggi yang terletak di Cikampek arah ke purwakarta, yang suka main perempuan. “ Hahahaha” tawa datuk maranggi dengan suara serak yang jelek khas dirinya. “ngomong-ngomong berapa banyak kau pinjam uang dariku?” “Sekitar 20 juta Datuk, tapi apa yang dapat saya berikan sebagai jaminannya?”. Datuk maranggi tertawa kembali, “Hahahaha, sultan, kau dan aku sudah berteman sejak lama, tidak perlu lah kau memberi jaminan kepadaku.” “Benarkah? Terima kasih datuk.” Sultan mahmud menjabat tangan datuk maranggi yang kasar dan keriput. Tak lama kemudian dari jendela terlihat siti nurbaya masuk ke rumahnya, Datuk maranggi yang melihatnya pun bertanya “Hai, sultan mahmud, siapa gerangan gadis sebelah itu?” tanya datuk maranggi. “Dia adalah siti nurbaya, kembang desa di desa ini, anak perawan baginda sulaiman, saudara hamba datuk.” Jawab sultan. “Cantik sekali gadis itu, dapatkah aku berkenalan dengannya?” “Tentu saja datuk, anak saya sam akan mengantarkan anda.”
“Siti, perkenalkan ini adalah datuk maranggi teman ayah saya, Datuk, ini Siti Nurbaya”. “Huahahaha, siti nurbaya, wajahmu sungguh cantik bak bidadari turun dari kayangan.” “Terima kasih datuk atas pujiannya, mari masuk dahulu, minum secangkir teh.” “Oh tidak perlu siti, saya sudah harus pulang, sampai jumpa lagi lain waktu.” “Senang berjumpa dengan anda datuk.”
Datuk maranggi pun hampir setiap hari datang ke rumah siti nurbaya, ayah siti, baginda sulaiman merasa risih akan kedatangan lelaki tua meskipun setiap kedatangannya baginda sulaiman selalu mendapatkan kertas biru atau merah yang tentunya banyak dimiliki oleh anggota DPR yang mendapatkan limpahan dana dari Bank Indonesia.
Ternyata tidak seperti dengan wanita-wanita terdahulu, saat ini Datuk Maranggi merasa benar-benar jatuh hati kepada Siti Nurbaya, aki-aki yang merasakan cinta, wew. Setiap malam minggu datuk maranggi bertamu ke rumah siti nurbaya, memakai baju yang merupakan negasi dari enak dilihat dan pakaian yang berbau kispray yang seperti sengaja dituang ke seluruh permukaan baju, meski begitu layaknya cowok ngapel yang bermodal besar, Datuk maranggi membawakan hadiah-hadiah yang indah untuk Siti. Ternyata sam yang melihat dari rumahnya pun merasa gundah hatinya, ia merasa cemburu dengan laki-laki tua itu. Ia seperti kalah bersaing dengan pria tua yang sebenarnya sudah sangat layak untuk masuk ke keranda jenazah. Meski begitu ia juga tak enak kepada Datuk karena ayahnya memiliki hutang besar kepada Datuk Maranggi.
Siti Nurbaya yang pada awalnya merasa risih dengan kedatangan lelaki tua bangka itu mulai merasakan ketulusan Datuk Maranggi, meskipun begitu layaknya gadis normal tentu saja ia tidak sampai menyukai Datuk Maranggi yang lebih pantas untuk dipanggil Kakek olehnya. Tetapi setelah dipengaruhi oleh beberapa teman yang belum layak dikategorikan sahabat, siti berniat menggunakan kesempatan untuk mendapatkan semua yang ingin dia miliki.
Siti pun selalu curhat dengan Sam, berduaan di saung di tengah sawah, meskipun sam berpakaian ala kadarnya dengan badannya yang bau keringat, siti lebih merasa nyaman dengannya. Dan Samsul merasa sangat bahagia sekali begitu mendengar siti curhat dengannya mengenai perasaannya kepada Datuk Maranggi.
Datuk Maranggi mengetahui kebiasaan Siti yang selalu berdua-duaan dengan Sam merasa geram, ia merasa diduakan oleh gadis cilik. Ia memasang alat penyadap, meminjam dari Conan Edogawa, teman profesor Agasa yang merupakan teman jajan gorengan dan es kelapa Datuk di Gamprit Raya. Alat penyadap itu dipasang di saung tempat Siti dan Samsul biasa bertemu.
Datuk yang gagap akan teknologi, tidak dapat menggunakan alat tersebut, dan malah ia bersembunyi di kolong saung untuk mencuri dengar pembicaraan Siti dan Sam. Ia mendengar bahwa siti hanya memanfaatkan dirinya, ia pun patah hati, pingsan di kolong saung yang mungkin akan menjadi rumah abadinya jika ia tidak terbangun.
Keesokan harinya Datuk datang ke rumah Siti, ia meminta penjelasan dari Siti, Siti yang memang bukan siapa-siapanya Datuk Maranggi tentu tidak merasa bersalah. Memang Datuk Maranggi terlalu berlebihan, seperti Indonesia yang berlebihan memiliki sumber daya alam dan hutang luar negeri.
Baginda Sulaiman yang geram dengan kisah cinta putrinya yang seperti sinetron-sinetron Televisi yang sifatnya tidak mendidik menikahkan putrinya dengan lelaki bule darah campuran yang kebetulan lewat depan rumahnya.
Ending yang kurang asik. Maaf ya...